•  
  •  
 

Abstract

Abstrak
Status Justice Collaborator yang disematkan kepada seorang tersangka atau terdakwa bahkan terpidana memiliki implikasi besar pada dirinya. Bukan hanya dia dianggap memiliki kemauan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum sehingga pelaku kelas kakap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, juga dianggap memiliki iktikad baik untuk memulihkan kerugian negara. Status tersebut diberikan dalam rangka untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Status justice collaborator berbeda dengan saksi mahkota yang pemanfaatannya dinilai melanggar hak asasi. Artikel ini akan menjelaskan perbedaan dengan saksi mahkota dan mengenai statusnya dalam perspektif hak asasi manusia. Justice collaborator dianjurkan sejumlah konvensi internasional yang dibuat oleh PBB. Untuk menjadi justice collaborator, seorang tersangka atau terdakwa harus memiliki keinginan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum, bukan karena dipaksa oleh pihak lain. Bila memilih untuk menjadi justice collaborator dan memenuhi syarat, maka hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa tidak akan dirugikan, justru memperoleh protection, treatment, dan reward. Dengan demikian aparat penegak hukum mendapat keuntungan dengan kerja sama tersebut, yaitu dapat dibongkarnya kejahatan serius. Sedangkan justice collaborator memperoleh sejumlah hak yang tidak diterima oleh pelaku lainnya yang tidak berstatus sebagai justice collaborator.

The Determination Status of Justice Collaborator in Human Rights Perspective

Abstract
Justice Collaborator ascribed to a suspect or an accused and even convicted has major implications to them. Not only that they are considered to have a willingness to cooperate with law enforcement authorities to hold the perpetrators accountable for a major crime, but also have good faith to recover losses to the State. Such a status is granted in order to uphold human rights in the criminal justice process. Status as Justice collaborator is different from the Crown Witnesses which criticize for violating human rights. This article discusses its differences and its status through human rights perspective. Justice collaborator mechanism is recommended by a number of international conventions made by the UN. To be a justice collaborator, suspect or defendant must have the desire to cooperate with law enforcement officials, not because they were forced. When you choose to become a justice collaborator and qualify, then the rights as a suspect or defendant will not be harmed, and even gain protection, treatment, and reward. Thus, the law enforcement agencies will get benefit with respective cooperation in order to reveal serious crimes, while justice collaborator gained several rights that only provided for suspect entitled as justice collaborator.


DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3.n3.a2

References

Abdul Haris Semendawai, “Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi Catatan tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana”, http://www.lpsk.go.id/upload/Stadium%20General%20tentang%20JC%20di%20FH%20UII.pdf, diunduh 3 November 2016.

Drs. M. Sofyan Lubis, SH., MH., “Saksi Mahkota”, http://sofyanlubis.blogspot.co.id/2008/07/saksi-mahkota.html, diunduh tanggal 2 November 2016

Hukum online, “Definisi Saksi Mahkota”, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fba-e50accb01/definisi-saksi-mahkota, diunduh 2 November 2016.

Inilah.com “KPK Periksa Agus Chondro untuk Miranda S Goeltom”, http://m.inilah.com/-news/detail/1861481/kpk-periksa-agus-chondro-untuk-miranda-s-goeltom, diunduh 1 November 2016.

Jimly Asshidiqie, Gagasan Negara Hukum, http://www.jimly.com, tanggal 5 Mei 2015.

Jixi Zhang, Fair Trial Rights in ICCPR, Jurnal of Politic and Law, Volume 2, Nomor 4, Desember 1999.

Karen Kramer, “Witness Protection As A Key Tool In Addressing Serious And Organized Crime”, http://www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_GG4_Seminar/Fourth_GGSeminar_P3-19.pdf, diunduh 1 November 2016.

Kompas, “Mindo Rosalina Bebas Bersyarat”, http://nasional.kompas.com/read/2012/07/02/-14065787/Mindo.Rosalina.Bebas.Bersyarat, diunduh 1 November 2016.

Kompas, “Kejahatan Luar Biasa dinafikan”, https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/-20161010/281621009845716, diunduh 10 Oktober 2016.

Rafie Anggaeasaputra, http://rapliunisma.blogspot.com/2012/12/makalah-konsep-dasae-negara.html, diakses pada 4 April 2014.

Rahman Amin, SH., MH., “Saksi Mahkota Dalam Peradilan Pidana”, http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2015_04_01_archive.html, diunduh tanggal 2 November 2016.

Sang Ayu Ditapraja Adipatni dkk, “Eksistensi Saksi Mahkota Kaitannya DenganSplitsing Dalam Pembuktian Perkara Pidana”,

http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/viewFile/4328/3284, diunduh 2 November 2016.

Wikipedia, “Right to Silence”, https://en.wikipedia.org/wiki/Right_to_silence, diunduh 2 November 2016.

Wikipedia, “Self Incrimination”, https://en.wikipedia.org/wiki/Self-incrimination, diunduh 2 November 2016.

Dokumen Hukum

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003.

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011.

Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, Ketua KPK dan Ketua LPSK tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

DOI

https://doi.org/10.22304/pjih.v3.n3.a2

Share

COinS