•  
  •  
 

Abstract

This study aims to examine whether the substance of Balinese traditional law instrument (the awig-awig) contradicts to human rights. This study employed normative legal research. The result shows that the awig-awig stands as convention but, on the other side, it is constructed by the Desa Pakraman under the Balinese Local Government Regulation Number 3 of 2003. Therefore, based on the hierarchy of the norm, it is not a fully autonomous community. Moreover, it is separated from the Unitary State of the Republic of Indonesia and internationally. The traditional law instrument should inline to the national law and international law, especially those related to human rights values. Although it aims to keep the balance of cosmic or universe, international and national instruments related to human rights should be used as a reference to construct customary rules, particularly for the one that is related to kesepekang (a rejection) and manak salah (a sanction for boy and girl born twin). It potentially causes social friction due to its disruption to the human rights values and adequate standard of living.

Instrumen Hukum Tradisional Bali: Realisme antara Keseimbangan Kosmik dan Hak Asasi Manusia

Abstrak

Tujuan dari studi ini adalah untuk mengkaji apakah substansi instrumen hukum tradisional Bali yang juga disebut Awig-Awig bertentangan dengan hukum hak asasi manusia. Studi ini menggunakan penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Awig-awig sebagai instrumen hukum tradisional di satu sisi bentuknya sebagai hukum tidak tertulis, tetapi di sisi lain dikonstruksi oleh Desa Pakraman berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah Bali Nomor 3 tahun 2003, oleh karena itu dari hirarki norma, Desa Pakraman bukan komunitas yang sepenuhnya otonom dalam membuat ketentuan, apalagi terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan internasional. Instrumen hukum tradisional harus sejalan dengan Hukum nasional dan hukum internasional, terutama yang terkait dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Meskipun sifatnya bertujuan untuk menjaga keseimbangan kosmik atau alam semesta, nampaknya instrumen-instrumen internasional dan nasional yang terkait dengan hak asasi manusia perlu digunakan sebagai referensi oleh Desa Pakraman dalam membangun aturan-aturan adat, terutama yang berkaitan dengan kesepekang (penolakan dari Desa Pakraman) dan manak salah (terkait dengan sanksi bagi anak kembar laki-laki dan perempuan yang dilahirkan sebagai kembar sekaligus) yang berpotensi menyebabkan gesekan sosial karena gangguannya terhadap nilai-nilai hak asasi manusia dan standar kehidupan yang layak.

DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v5n3.a3


DOI

https://doi.org/10.22304/pjih.v5n3.a3%0D

Share

COinS